Siapkan Aturan Rantai Dingin Nasional, Kemenhub Minta Masukan dari Industri

JAKARTA (19/08) — Kementerian Perhubungan melalui Direktorat Jenderal Integrasi Transportasi dan Multimoda (Ditjen Intram) menegaskan perlunya kolaborasi erat dengan industri nasional dalam merumuskan regulasi rantai dingin. Dirjen Intram, Risal Wasal, menyampaikan bahwa pemerintah membutuhkan masukan dari pelaku usaha agar aturan yang disusun mampu menjawab permasalahan nyata dalam sistem logistik rantai dingin di Indonesia. Hal ini disampaikannya dalam acara Indonesia Cold Chain Infrastructure Summit (ICCIS) 2025 di Menara Mandiri, Jakarta.

Menurut Risal, tantangan utama rantai dingin bukan hanya pada infrastruktur fisik, tetapi juga tata cara dan standar pengangkutan yang sering kali belum seragam. “Kami sedang menyiapkan regulasi khusus terkait rantai dingin. Namun regulasi ini tidak bisa disusun hanya dari sudut pandang pemerintah. Kami butuh masukan dari para pelaku industri agar aturan yang dihasilkan benar-benar aplikatif,” ujarnya.

Risal mencontohkan salah satu masalah krusial adalah ketidakefisienan perjalanan logistik. Banyak armada berangkat dalam kondisi terisi penuh, tetapi pulang dalam keadaan kosong. “Kondisi ini membuat biaya tinggi dan berisiko merugikan operator. Regulasi yang tepat harus mampu mendorong sistem distribusi dua arah yang lebih efisien,” jelasnya.

Berdasarkan data Kementerian PPN/Bappenas, keterbatasan rantai dingin selama ini membuat Indonesia kehilangan pangan sebesar 23–48 juta ton setiap tahun, setara Rp551 triliun. Angka tersebut mencakup kerugian 20% pada daging, 35% perikanan, dan 45% buah serta sayur. Padahal sektor hortikultura, perikanan, daging, serta farmasi dan vaksin merupakan komoditas unggulan ekspor sekaligus kebutuhan strategis dalam negeri yang sangat bergantung pada rantai pendingin yang handal.

Asosiasi Rantai Pendingin Indonesia (ARPI) memproyeksikan permintaan logistik berpendingin akan terus meningkat. Transportasi berpendingin diproyeksikan tumbuh 14%, sementara cold storage meningkat 8% dalam lima tahun ke depan. Pertumbuhan tersebut didorong kebutuhan sektor makanan, minuman, farmasi, perdagangan daring, dan distribusi produk kesehatan yang menuntut layanan cepat, higienis, serta terjamin mutunya.

Pemerintah menargetkan penurunan biaya logistik menjadi 12,5% PDB pada 2029 dari 14,29% pada 2022. Untuk itu, integrasi multimoda didorong agar angkutan barang sensitif suhu tidak lagi hanya bergantung pada truk, melainkan juga memanfaatkan laut dan kereta api sebagai tulang punggung distribusi antarwilayah. “Paradigma baru kita adalah Ship Promotes the Trade, di mana transportasi laut bukan hanya mengikuti perdagangan, tapi justru mendorong pertumbuhan ekonomi,” kata Risal.

Sebagai langkah awal, Kemenhub berencana menyiapkan gudang berpendingin di 14 pelabuhan utama mulai tahun 2027, memperluas penggunaan reefer container di kapal tol laut, dan membangun jaringan Cold Chain Hubs di lokasi strategis. Targetnya, seluruh pelabuhan komersial dan kapal trayek tol laut memiliki fasilitas rantai pendingin secara bertahap hingga 2029.

Modernisasi sistem rantai dingin juga diperkuat dengan teknologi digital, mulai dari IoT hingga big data, untuk optimasi rute, prediksi permintaan, manajemen stok, hingga pengendalian kualitas produk secara real time. Bersamaan dengan itu, penguatan SDM dilakukan lewat pendidikan vokasi dan sertifikasi profesi “Ahli Logistik” agar tenaga kerja siap menghadapi transformasi.

“Tantangan berat akan kita hadapi di dunia logistik, termasuk dalam mendukung proyek-proyek besar seperti Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPP). Karena itu, kami mengajak industri, asosiasi, dan akademisi untuk bersama-sama merumuskan aturan rantai dingin yang efektif, sehingga Indonesia memiliki ekosistem logistik yang efisien, tangguh, dan berdaya saing global,” pungkas Risal. (NIC/NR/BYK)